novel

Sabtu, 23 Maret 2013

FITRAH DAN CITRA MANUSIA DALAM PSIKOLOGI ISLAM

1. Pengertian Fitrah dan Citra Manusia dalam Psikologi Islam
    Secara etimologi, fitrah berarti penciptaan atau “terbukanya sesuatu dan melahirkannya”. Sedangkan menurut makna nasabi (pemahaman dari beberapa ayat dan hadits nabi), fitrah adalah citra asli yang dinamis yang terdapat pada sistem-sistem psikofisik manusia, dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku.
Citra adalah gambaran tentang diri manusia yang berhubungan dengan kualitas-kualitas asli manusiawi yang merupakan sunnatullah yang dibawa sejak ia dilahirkan.
Manusia adalah makhluk pilihan Allah yang mengemban tugas ganda, yaitu sebagai kholifah Allah dan Abdullah. Untuk mengaktualisasikan tugas ganda tersebut, maka Allah telah melengkapi manusia dengan sejumlah potensi dalam dirinya. Hasan langgulung mengatakan potensi-potensi itu adalah: ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah.
Salah satu perbedaan utama ajaran-ajaran islam dengan ajaran agama-agama lain, aliran-aliran filsafat modern dan aliran-aliran psikologi modern adalah tentang sifat asal manusia. Islam mempercayai bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah. Fitrah berarti kejadian atau penciptaan. Fitrah adalah sesuatu yang menjadi bawaannya sejak lahir atau keadaan mula-mula. Fitrah manusia adalah memepercayai dan mengakui Allah sebagai tuhannya. Fitrah yang ada dalam diri manusia adalah suatu sifat asal yang alamiah sifatnya.
Dalam diri manusia terdapat potensi yang positif dan juga negatif. Adapun potensi atau segi positifnya antara lain adalah :
Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi.
Manusia mempunyai kapasitas intelegensi yang paling tinggi dibandingkan dengan semua makhluk yang lain.
Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan.
Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat.
Manusia tidaklah semata-mata tersentuh oleh motivasi duniawi saja.
Sedangkan dari segi negatifnya, Al-qur’an telah menyatakan dalam beberapa ayat yaitu bahwa manusia itu keji dan bodoh. Adapun ayat tersebut antara lain terdapat dalam Q.S. Al-Ahzab : 72 yang artinya : Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
Macam-macam Pandangan Tentang Fitrah Manusia
Menurut Yasien Muhammad, pemahaman terhadap pandangan fitrah ini dapat dikelompokkan dan dibedakan menjadi empat, yaitu: pandangan fatalis, pandangan netral, pandangan positif, dan pandangan dualis.
Pandangan Fatalis
Pandangan ini mempercayai bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana Tuhan.
Syaikh Abdul Qodir Jailani, tokoh populer pandangan ini, mengungkapkan bahwa seorang pendosa akan masuk surga jika hal itu menjadi nasibnya yang telah ditentukan Allah swt.  Sebelumnya. Tokoh lain al-Azhari menyatakan bahwa sifat dasar yang tidak berubah dari fitrah berkaitan dengan nasib seseorang untuk masuk surga atau neraka.dengan demikian tanpa memandang faktor-faktor eksternal dari petunjuk dan kesalahan petunjuk, seorang individu terikat oleh kehendak Allah  untuk menjalani cetak biru (blue print) kehidupannya yang telah ditetapkan baginya sebelumnya.  Ibnu mubarok tokoh utama pandangan fatalisme, menafsirkan salah satu hadis bahwa anak-anak orang musyrik terlahir dalam keadaan kufur atau iman.
Pandangan Netral
Pandangan ini dikomandani oleh Ibnu ‘Abd Al-Barr. Mereka mendasarkan pandangannya pada firman Allah swt.
       
dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, (QS An-Nahl, 16:78).
Penganut pandangan netral berpendapat bahwa anak terlahir dalam keadaan suci, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya. Tanpa kesadaran akan iman atau kufur. Mereka lahir dalam keadaan utuh atau sempurna, tetapi kosong dari suatu esensi yang baik atau yang jahat. Menurut pandangan ini, manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh dan tidak berdosa. Dia akan memeperoleh pengetahuan tentang yang benar dan yang salah, tentang kebaikan dan kebenaran serta keburukan dan kejahatan, dari lingkungan eksternal.
Menurut pandangan ini, iman (kebaikan) atau kufur (keburukan) hanya mewujud ketika anak tersebut mencapai kedewasaan (taklif). Setelah mencapai taklif, seseorang menjadi bertanggung jawab atas perbuatannya.
Pandangan Positif
Menurut Ibnu Taimiyah semua anak terlahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam kebajikan bawaan, dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan individu menyimpang dari keadaan ini. Sifat dasar manusia memiliki lebih dari sekedar pengetahuan tentang Allah yang ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga suatu cinta kepadanya dan keinginan untuk melaksanakan  ajaran agama secara tulus sebagai seorang hanif sejati.
Ibnu Taimiyah memberikan tanggapan atas pandangan Ibnu ‘Abd Al-Barr dan menegaskan bahwa fitrah bukan semata-mata sebagai potensi pasif yang harus dibangun dari luar, tetapi merupakan sumber yang mampu memebangkitkan dirinya sendiri yang ada dalam individu tersebut. Orang yang hanif bukanlah seseorang yang bereaksi terhadap sumber-sumber bimbingan, tetapi seseorang yang secara alamiyah telah terbimbing dan berupaya memantapkan dalam praktik secara sadar.
Tentang keterkaitan antara fitrah dan dien islam, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa terdapat suatu kesesuaian alamiyah antara sifat dasar manusia dan dien islam. Agama islam menyediakan kondisi ideal untuk memepertahankan dan mengembangkan sifat-sifat bawaan manusia. Sifat dasar manusia memiliki lebih dari sekedar pengetahuan tentang Allah yang ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga suatu cinta kepadanya dan keinginan untuk melaksanakan agama secara tulus sebagai seorang hanif sejati.
Selanjutnya, apakah fitrah dapat rusak, ada perbedaan pendapat diantara penganut pandangan positif. Pertama. Fitrah bisa rusak, Ali Ash-Shabuni dan Al-Faruqi berpendapat demikian, Ali Ash-Shabuni mengungkapkan bahwa fitrah dapat rusak disebabkan masyarakat memperlihatkan kesalahan, penderitaan, dan kekufuran kepada anak. Manusia itulah yang merusak dan mengubah apa yang tercipta dalam keadaan indah dan baik. Al-Faruqi berpendapat bahwa fitrah bisa rusak,  karena adanya dorongan-dorongan yang jahat atau hawa nafsu. Kedua, fitrah tidak bisa rusak. Muhammad Asad mengungkapkan bahwa Allah tidak akan membiarkan suatu perubahan untuk merusak  apa yang telah dia ciptakan. Mufti Muhammad Syafi’i juga berpendapat demikian. Memurutnya, keadaan intrinsik fitrah tetap sebagai suatu keadaan yang tidak berubah, sementara keadaan-keadaan ekstrinsik yang bermacam-macam dari keimanan dan perilaku bisa berubah dan bersifat dinamis.
Pandangan Dualis
Pandangan ini berbeda dengan pandangan fatalis, netral dan positif. Menurut mereka penciptaan manusia membawa suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Menurut Quthb, dua unsur pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh yaitu ruh dan tanah, mengakibatkan kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecenderungan yang setara pada manusia, yaitu kecenderungan untuk mengikuti tuhan dan kecenderungan untuk tersesat. Selanjutnya Quthb berpendapat bahwa kebaikan yang ada pada diri manusia dilengkapi dengan pengaruh-pengaruh eksternal seperti kenabian dan wahyu Tuhan sementara kejahatan yang   ada pada diri manusia dilengkapi faktor eksternal seperti godaan dan kesesatan.
Shari’ati berpandangan bahwa  tanah simbol terendah dari kehinaan digabungkan dengan ruh (dari) Allah. Dengan demiikan manusia adalah makhluk berdimensi ganda  dengan sifat dasar ganda, suatu susunan dari dua kekuatan, bukan saja berbeda, tetapi juga berlawanan.
Citra Manusia dalam Psikologi Islam
Citra manusia yang terdapat dalam psikologi islam, diantaranya ialah:
Manusia dilahirkan dengan citra yang baik, seperti membawa potensi suci, ber-Islam, bertauhid dan menjadi khalifah di muka bumi.
Manusia memiliki ruh yang berasal dari Tuhan yang mana menjadi esensi kehidupan manusia.
Bahwa pusat tingkah laku manusia adalah kalbu, bukan otak atau jasad manusia; manusia memperoleh pengetahuan tanpa diusahakan, seperti pengetahuan intuitif dalam bentuk wahyu dan ilham; serta tingkat kepribadian manusia tidak hanya sampai pada humanitas atau sosialitas, tetapi sampai pada berketuhanan.

2. Potensi Fitrah dalam Psikologi Islam

Potensi Fisik (Psychomotoric).
Merupakan potensi fisik manusia yang dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk berbagai kepentingan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
Potensi Mental Intelektual (IQ).
Merupakan potensi yang ada pada otak manusia fungsinya : untuk merencanakan sesuatu untuk menghitung, dan menganalisis, serta memahami sesuatu tersebut.
Potensi Mental Spritual Question (SP).
Merupakan potensi kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia yang berhubungan dengan jiwa dan keimanan dan akhlak manusia.
Potensi Sosial Emosional.
Yaitu merupakan potensi yang ada pada otak manusia fungsinya mengendalikan amarah, serta bertanggung jawab terhadap sesuatu.
Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas dalam agama Islam. Dengan kemampuan ini manusia dapat dididik menjadi beragama Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi atheis (anti Tuhan). Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama Islam yang berfaham ahli Mu’tazilah antara lain Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.  Aspek-aspek psikologis dalam fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsive terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan. Diantara aspek-aspek tersebut ialah:
Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan akademis dan keahlian dalam bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal pada kemampuan Kognisi (daya cipta), Konasi (Kehendak) dan Emosi (rasa) yang disebut dalam psikologi filosifis dengan tiga kekuatan rohaniah manusia.
 Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting ini merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam psikologi pendidikan kemampuan ini termasuk kapabilitas yaitu kemampuan berbuat sesuatu dengan tanpa belajar.
Nafsu dan dorongan-dorongan. Dalam tasawuf dikenal nafsu-nafsu lawwamah yang mendorong kearah perbuatan mencela dan merendahkan orang lain. Nafsu ammarah yang mendorong kearah perbuatan merusak, membunuh atau memusuhi orang lain. Nafsu birahi (eros) yang mendorong ke arah perbuatan seksual untuk memuaskan tuntutan akan pemuasan hidup berkelamin. Nafsu mutmainnah yang mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut al-Ghazali, nafsu manusia terdiri dari nafsu malakiah yang cenderung ke arah perbuatan mulia sebagai halnya para malaikat, dan nafsu bahimiah yang mendorong ke arah perbuatan rendah sebagaimana binatang.
Karakter adalah merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak lahir. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter terbentuk oleh kekuatan dari dalam diri manusia, bukan terbentuk dari pengaruh luar
Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan oleh orang tua baik dalam garis yang terdekat maupun yang telah jauh.
Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi menggerakkan hati nurani manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam situasi khusus diluar kesadaran akal pikiran, namun mengandung makna yang bersifat konstruktif bagi kehidupannya. Intuisi biasanya diberikan Tuhan kepada orang yang bersih jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar